Kekayaan (amwal)
merupakan bentuk jamak dari kata mal, dan mal bagi orang Arab,
yang dengan bahasanya Qur’an diturunkan, adalah segala sesuatu yang diinginkan
sekali oleh manusia menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian unta, sapi,
kambing, tanah, kelapa, emas dan perak adalah kekayaan. Oleh karena itulah
ensiklopedia-ensiklopedia di Arab, misalnya al-Qamus dan Lisan
al-Arab mengatakan bahwa kekayaan adalah segala sesuatu yang dimiliki,
namun orang-orang desa sering menghubungkannya dengan ternak dan orang-orang
kota sering menghubungkannya dengan emas dan perak, tetapi semuanya adalah
kekayaan.[1]
Ibnu Asyr
mengatakan. “Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian
berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki.
Menurut ulama-ulama
Mazhab Hanafi, kekayaan adalah segala yang dapat dipunyai dan digunakan menurut
galibnya. Kekayaan hanya bisa disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat,
dipunyai dan bisa diambil manfaatnya menurut galibnya. Sesuatu yang dipunyai
dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit adalah kekayaan, seperti tanah,
binatang, barang-barang perlengkapan dan uang. Tetapi sesuatu yang tidak dapat
dimanfaatkan tetapi mungkin dimiliki dan diambil manfaatnya juga termasuk
kekayaan, misalnya segala yang boleh diambil, seperti ikan di laut, burung di
langit, binatang di hutan dan sebagainya. Sebaliknya sesuatu yang tidak mungkin
dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari,
tidaklah termasuk kekayaan. Begitu juga tidaklah termasuk kekayaan sesuatu yang
pada galibnya tidak dapat diambil manfaatnya tetapi dapat secara konkrit dipunyai,
seperti segenggam tanah, setitik air, seekor lebah, sebutir beras dan
sebagainya. Konsekuensi definisi itu adalah bahwa kekayaan berarti hanya yang
berwujud benda sehingga dapat dipegang dan dipunyai. Akibat lebih lanjut ialah
bahwa manfaat dari benda yang konkrit itu, seperti penempatan rumah, perjalanan
kendaraan dan penggunaan pakaian tidaklah termasuk kekayaan. Serupa dengan hal
itu adalah hak-hak, seperti hak dari pengasuhan anak dan hak dari pemeliharaan.
Menurut Mazhab
Syafi’i, Maliki dan Hambali, manfaat-manfaat itu termasuk kekayaan, menurut
mereka yang penting bukanlah dapat dipunyai sendiri tetapi dipunyai dengan
menguasai sumbernya. Yang pasti adalah bahwa manfaat-manfaat itu dapat dikuasai
dengan menguasai tempat dan sumbernya, karena seorang yang memiliki sebuah
mobil, misalnya, mendinding orang lain untuk mempergunakan mobil itu tanpa
izinnya.[2]
Dari
pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kekayaan pada dasarnya
adalah sesuatu yang berwujud, dan itulah yang terkena kewajiban zakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar