Temukan

Senin, 08 Desember 2014

Kekayaan

Kekayaan (amwal) merupakan bentuk jamak dari kata mal, dan mal bagi orang Arab, yang dengan bahasanya Qur’an diturunkan, adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian unta, sapi, kambing, tanah, kelapa, emas dan perak adalah kekayaan. Oleh karena itulah ensiklopedia-ensiklopedia di Arab, misalnya al-Qamus dan Lisan al-Arab mengatakan bahwa kekayaan adalah segala sesuatu yang dimiliki, namun orang-orang desa sering menghubungkannya dengan ternak dan orang-orang kota sering menghubungkannya dengan emas dan perak, tetapi semuanya adalah kekayaan.[1]
Ibnu Asyr mengatakan. “Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki.
Menurut ulama-ulama Mazhab Hanafi, kekayaan adalah segala yang dapat dipunyai dan digunakan menurut galibnya. Kekayaan hanya bisa disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat, dipunyai dan bisa diambil manfaatnya menurut galibnya. Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit adalah kekayaan, seperti tanah, binatang, barang-barang perlengkapan dan uang. Tetapi sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan tetapi mungkin dimiliki dan diambil manfaatnya juga termasuk kekayaan, misalnya segala yang boleh diambil, seperti ikan di laut, burung di langit, binatang di hutan dan sebagainya. Sebaliknya sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari, tidaklah termasuk kekayaan. Begitu juga tidaklah termasuk kekayaan sesuatu yang pada galibnya tidak dapat diambil manfaatnya tetapi dapat secara konkrit dipunyai, seperti segenggam tanah, setitik air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya. Konsekuensi definisi itu adalah bahwa kekayaan berarti hanya yang berwujud benda sehingga dapat dipegang dan dipunyai. Akibat lebih lanjut ialah bahwa manfaat dari benda yang konkrit itu, seperti penempatan rumah, perjalanan kendaraan dan penggunaan pakaian tidaklah termasuk kekayaan. Serupa dengan hal itu adalah hak-hak, seperti hak dari pengasuhan anak dan hak dari pemeliharaan.
Menurut Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali, manfaat-manfaat itu termasuk kekayaan, menurut mereka yang penting bukanlah dapat dipunyai sendiri tetapi dipunyai dengan menguasai sumbernya. Yang pasti adalah bahwa manfaat-manfaat itu dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan sumbernya, karena seorang yang memiliki sebuah mobil, misalnya, mendinding orang lain untuk mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.[2]
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kekayaan pada dasarnya adalah sesuatu yang berwujud, dan itulah yang terkena kewajiban zakat.



[1] Yusuf Qardhawi, Fiqhuz Zakat,  h. 123.
[2] Ibid, h. 123-124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar